Maulana Jalaluddin Muhammad
Mowlavi dalam kumpulan syair Matsnawi Ma'nawi berkisah bahwa suatu hari seorang
pemuda mendatangi Nabi Musa as. Dia ingin belajar bahasa binatang dari sang
Nabi. Musa as menasehatinya tentang akibat buruk dari apa yang ia minta. Beliau
bersabda, "Permintaanmu sangat berbahaya. Jika hal itu baik, tentu Allah
akan mengajarkan bahasa binatang kepada manusia sebagaimana Dia telah
menganugerahkan banyak nikmat kepada mereka. Mintalah kepada Allah hati yang
bisa mengambil pelajaran dari apa yang ada."
Panjang lebar Nabi Musa
menasehati pemuda itu untuk mengurungkan niatnya.
Tapi semakin banyak nasehat
yang didengar, dia semakin tertarik untuk mempelajari bahasa binatang. Melihat itu, sang Nabi berkata
dalam hati, "Ya Allah, apa yang mesti kuperbuat? Jika aku mengajarkan
bahasa binatang kepadanya, dia pasti akan rugi. Mungkin sekali bahaya akan
datang menimpanya. Sementara jika kutolak, dia akan terpukul dan akan
membenciku karena aku tak bersedia mengabulkan permintaannya."
Allah Swt mewahyukan kepada
nabi-Nya dan berfirman, "Wahai Musa, kemurahan-Ku lebih besar untuk tidak
mengabulkan doanya. Ajarkanlah bahasa binatang kepadanya!" Musa berkata,
"Ya Allah, dia kelak akan menyesal. Lebih baik baginya jika dia tidak
mengerti bahasa binatang." Allah Swt berfirman lagi, "Engkau sudah
cukup memperingatkannya. Jika tetap bersikeras, ajari dia."
Musa kembali menasehati pemuda
itu dan memintanya untuk mengurungkan permintaan itu. Beliau berkata, "Hai
pemuda! Urungkan niatmu. Kemampuan itu hanya akan merugikan dirimu
sendiri." Kata-kata sang Nabi tak bisa
memalingkan pemuda itu dari tekadnya yang semakin bulat.
Akhirnya, Musa as
mengajarkan kepadanya bahasa anjing, burung dan ayam. Setelah mempelajari
bahasa-bahasa itu, dia dengan gembira kembali ke rumahnya.
Esok hari, sang pemuda ingin
menguji kemampuan berbahasa binatang. Dia pergi ke halaman rumah. Pagi itu,
istrinya yang baru selesai sarapan mengibaskan taplak makan di depan seekor
anjing. Dia sengaja memberikan potongan-potongan roti itu kepada binatang
tersebut.
Mendadak seekor ayam datang dan
mengambil potongan roti itu lalu kabur. Anjing yang merasa makanannya dicuri
menjadi marah dan menghardik ayam tadi dengan gonggongannya. Sang pemuda
menyaksikan itu semua. Merasa menguasai bahasa anjing dan ayam dia datang
mendekat untuk mendengar percakapan di antara binatang itu. Samar-samar dia
mendengar anjing berkata, "Hei ayam! Kau sudah berbuat zalim terhadapku
dengan mencuri makananku."
Ayam dengan nada keheranan
menjawab, "Aku menzalimimu? Bagaimana bisa?"
Anjing berkata lagi, "Sebab
kau bisa memakan biji-biji gandum, sedangkan aku tidak bisa. Tadi kau mengambil
potongan roti yang sudah menjadi bagianku."
Ayam jantan itu terkekeh-kekeh
dan menjawab, "Jangan kuatir! Allah akan memberikan rezeki kepada semua
makhluk-Nya. Rezekimu pasti akan datang. Besok kuda pemilik rumah ini bakal
mati. Kau bisa mengenyangkan perutmu dengan dagingnya." Pemuda itu
terkejut. Setelah mengetahui bahwa kudanya besok bakal mati, dia segera
mengambil hewan itu dan menjualnya di pasar.
Hari berikutnya, kejadian serupa
terulang lagi. Ayam jantan mengambil potongan roti yang diberikan pemilik rumah
kepada anjingnya. Anjing pun marah. Dia berkata, "Hei ayam pendusta.
Kemarin kau katakan kuda pemilik rumah bakal mati hari ini. Tapi apa
kenyataannya?"
Ayam menjawab, "Aku tidak
bohong. Pemilik rumah kemarin menjualnya dan kuda itu mati di tempat lain. Dia
selamat dari kerugian dan yang kini merugi adalah pembeli kudanya. Tapi jangan
risau. Besok, keledai miliknya akan mati dan kau akan mendapatkan daging yang
berlimpah."
Percakapan itu didengar oleh
pemuda yang sudah mempelajari bahasa binatang dari Nabi Musa as. Dia mengambil
keledainya dan segera menjual binatang itu di pasar.
Di hari ketiga, kejadian serupa
terulang. Anjing sudah benar-benar marah. Dia berkata dalam gonggongannya,
"Dasar ayam penipu. Engkau menipuku lagi." Ayam mengelak tuduhan itu
dan menjelaskan bahwa pemilik rumah, nampaknya tahu bahwa keledai bakal segera
mati. Karena itu dia menjualnya di pasar. Sekarang keledai itu mati di tangan
pembelinya.
Ayam berkata, "Tak usah
gelisah! Besok, budak pemilik rumah ini bakal mati. Itu artinya sisa roti bakal
semakin banyak. Tak hanya itu, pemilik rumah pasti akan mengadakan acara duka
dan membuat makanan untuk dibagi-bagikan kepada orang-orang karena kematian
budaknya. Nah, kau akan segera lepas dari rasa laparmu."
Mendengar percakapan anjing dan
ayam, pemuda itu segera menjual budaknya di pasar budak. Dia merasa lega.
Karena dengan mengerti bahasa binatang dia selamat dari kerugian materi yang
tidak sedikit. Kuda, keledai dan budak yang semestinya mati di tangannya sudah
dijual. Sehingga ia tak mengalami kerugian.
Esok harinya, peristiwa yang sama
terulang. Anjing dengan sangat geram mengarahkan pandangan ke ayam jantan dan
berteriak, "Bedebah! Kau memang makhluk pembohong. Tak ada kata-katamu
yang bisa dipercaya."
Ayam jantan berkata, "Kami,
ayam jantan tidak diciptakan untuk berbohong. Pernahkah engkau mendengar seekor
ayam berkokok sebelum datangnya fajar? Dengarkan baik-baik apa yang akan
kukatakan kepadamu. Baik kuda, keledai maupun budak pemilik rumah ini memang
mati seperti yang kukatakan kepadamu sehari setelah aku memberitahumu. Mereka
mati bukan di rumah ini tapi di rumah pemilik baru yang membelinya dari pemilik
rumah ini. Dia menjual ketiganya demi menghindari kerugian materi. Tapi
sebenarnya dengan cara itu dia telah menenggelamkan diri sendiri ke dalam
kerugian. Sebab kerugian materi pada dasarnya bisa menghindarkan banyak bencana
yang lebih besar."
Ayam itu melanjutkan, "Besok
pemilik rumah ini bakal mati. Sanak keluarganya akan membuat acara berkabung
untuk kematiannya yang tentunya dibarengi dengan penyembelihan kurban. Engkau
bisa menikmati daging kurban itu untuk mengisi perutmu. Kematian kuda, keledai
dan budak itu sebenarnya telah ditentukan untuk menghindarkannya dari bencana.
Tapi dia menjual ketiganya dengan maksud menghindari kerugian materi. Tapi yang
pasti besok dia bakal mati."
Pemuda itu seakan disambar petir mendengar penuturan ayam jantan kepada anjing
di pekarangan rumahnya. Dia tak percaya dengan apa yang didengarnya sendiri.
Sambil memukulkan kedua telapak tangan ke jidatnya karena menyadari apa yang
bakal menimpa dirinya, dia mencerca diri sendiri karena telah melakukan
kesalahan besar. Tanpa berpikir lebih lama, dia berlari menemui Nabi Musa.
Sesampainya di tempat yang dituju dia bersimpuh di hadapan sang Nabi dan
menceritakan apa yang dialaminya. Kata-katanya itu diiringi dengan tangisan dan
penyesalan.
Setelah mendengar kisah pemuda
yang mengerti bahasa binatang, Nabi Musa bertanya kepadanya, "Apa yang kau
lakukan ketika mendengar kudamu bakal mati?"
Dia menjawab, "Aku
menjualnya. Dengan begitu aku tidak rugi."
Musa bertanya lagi, "Lantas
apa yang kau lakukan setelah mendengar keledaimu bakal mati?"
Dia menjawab, "Aku melakukan
hal yang sama. Aku membawanya ke pasar dan menjualnya."
"Bagaimana dengan
budakmu?" tanya Musa. Dia menjawab, "Budak itupun aku jual. Ketiganya
mati di tangan pemilik yang baru, dan aku tidak menanggung kerugian karena
sudah menjualnya."
Nabi Musa berkata, "Kalau
begitu untuk hari keempat engkau juga harus melakukan yang sama."
Pemuda itu terperanjat dan
bertanya, "Apa berarti aku harus menjual diriku?"
Musa menjawab, "Iya. Tak ada
jalan lain, dan itu harus kau lakukan, kalau ingin selamat."
Sang Nabi kembali mengingatkan
apa yang dikatakannya kepada pemuda itu saat datang mendesak untuk mempelajari
bahasa binatang. Musa berkata, "Sejak awal aku sudah memperingatkan bahwa
tak ada untungnya belajar bahasa binatang. Bahkan engkau yang bakal merugi.
Tapi engkau tak mau mendengar nasehatku dan inilah akibatnya."
Pemuda itu kembali menangis
histeris dan memohon maaf atas kesalahan yang sudah diperbuat. Dia berkata,
"Wahai Nabi Allah, maafkan aku dan mintalah Allah memaafkanku dan
menyelamatkan diriku."
Nabi Musa dengan sedih
menggelengkan kepala dan bersabda, "Air yang sudah mengalir di sungai tak
akan pernah kembali. Kau sendiri tentunya sudah menyadari bahwa ketentuan ini
tidak bisa diubah. Tapi aku akan memohon kepada Allah supaya engkau
meninggalkan dunia ini dengan iman. Sebab orang yang mati dalam keadaan iman
akan memperoleh kehidupan yang abadi."
Pemuda itu mendadak jatuh sakit.
Dia dipapah oleh beberapa orang menuju rumahnya. Nampak ajal kematian sudah
semakin mendekat. Di tempat lain, Nabi Musa as sedang duduk bersimpuh di
mihrabnya. Beliau bermunajat dan memohon kepada Allah untuk mengampuni
dosa-dosa pemuda yang sedang menanti malaikat maut itu. Musa berdoa supaya
pemuda itu mati dalam keadaan beriman.(IRIB Indonesia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar