Senin 25 February 2019
Oleh : Dahlan Iskan
Wardah jadi bahasan di Boston. Di Harvard Business School. Masuk dalam Harvard Business Review. Tanggal 7 Februari lalu. Topik yang dibahas adalah 'strategi global'. Khususnya mengenai fenomena zaman ini: mengapa produk-produk global tergerus oleh produk lokal.
Kasusnya terjadi di tiga negara: Indonesia, Tiongkok dan India. Tiga negara yang berpenduduk besar. Dengan kekhasan penduduk lokal masing-masing. Di masa lalu tidak demikian. Kosmetik yang berjaya di negara-negara itu adalah produk asing. Dari perusahaan kelas global.
Di Surabaya pernah muncul merk Viva. Milik teman saya. Topnya bukan main. Tapi belum pernah bisa mencapai yang dicapai Wardah sekarang. Dan lagi Viva tidak pernah berhadapan langsung dengan produk Unilever. Seperti yang dilakukan Wardah sekarang.
Belum pernah produk global menemui tantangan seberat sekarang ini di Indonesia. Kini market share mereka merosot. Merk global seperti Estée Lauder, Colgate, Avon, Axe, Olay dan sejenisnya dimakan oleh produk lokal.
Di Tiongkok sangat nyata. Dari 10 besar kosmetik yang disukai, lima di antaranya sudah kosmetik lokal. Pun yang nomor satu paling laris: One Leaf (一叶子). Ada lagi merk seperti Chando. Yang di Tiongkok disebut 自然堂 (Zìrántáng).
Penjualan Chando lewat Taobao dan Tmall-nya Alibaba mencapai 90 juta yen. Sekitar Rp 200 miliar. Hanya dalam sebulan (Juni-Juli 2017).
Di India merk seperti Vini mencuri pasar yang sangat besar. Vini didirikan di negara bagian Gujarat. Jauh dari New Delhi atau Mumbay. Kantor pusatnya di kota Ahmad abad. Saking suksesnya begitu banyak investor yang mengincarnya. WestBridge Capital Partners LLC ingin membeli saham mayoritasnya. Dengan nilai --tarik nafas-- 9 miliar rupee. Atau sekitar Rp 2 triliun. Hanya untuk 51 persen saham.
Lebih hebat lagi di Indonesia. Menurut riset yang dilakukan Accenture Strategy Wardahlah 'tersangka'-nya. Wardah bukan hanya menggerogoti. Justru sudah mengalahkan. Bersejarah. Produk lokal mengalahkan kosmetik global.
Dua penulis global strategy di Harvard Business Review itu sendiri adalah pelaku risetnya: Sonia Gupta dan Oliver Wright. Accenture, yang berpusat di London, lantas memberikan saran-saran. Apa yang harus diperbuat perusahaan global itu.
"Sebetulnya Wardah hanya sedikit mengambil pasar mereka," ujar Bu Nurhayati. Pemilik Wardah itu memang sangat rendah hati. Sederhana. "Kami memang tumbuh pesat. Tapi sebenarnya kami ini membuat pasar baru," tambah Pak Subakat, suaminya.
Suami-istri ini sama-sama lulusan ITB. Istri asli Padang. Suami orang Solo. Dua anak laki-lakinya juga lulus ITB. Harman Subakat dan Salman Subakat. Hanya anak perempuannya, Sari, yang lulusan UI. Dokter.
"Kenapa Sari tidak dipaksa sekalian kuliah di ITB? " tanya saya. Setengah bergurau. "Sebenarnya sudah kami paksa," jawab sang ibu. Serius. "Anak ini justru tipe menolak kalau dipaksa," tambahnya. Contohnya soal renang. "Dia tidak bisa renang karena justru pernah dipaksa renang. Sampai didorong ke kolam renang," ujar sang ibu. Sang putri hanya tersenyum mengiyakan.
Saya akhirnya bertemu seluruh keluarga pemilik Wardah. Saya diundang ke forum Wardah Sabtu lalu. Di salah satu hotel di Ancol. Seluruh manajernya kumpul. Dari Aceh sampai Papua. Lebih dari 500 orang.
Saya tidak mengenal lagi Salman Subakat. Yang menyambut saya di depan. Dulu, waktu pertama bertemu, ia pakai jas. Yakni saat saya minta Salman jadi pembicara. Di ulang tahun pertama DisWay. Di Surabaya.
Sabtu lalu Salman tidak bedanya dengan karyawan Wardah lainnya: mengenakan baju biru muda lengan pendek. Celananya jeans. Persis para manajer yang lagi berkumpul itu. Ternyata Harman Subakat juga mengenakan baju itu. Bapaknya juga. Ibunya juga. Adik perempuannya, Sari, juga. Saya suka dengan seragam Wardah itu. Seragam tapi tidak terasa seragam. Karena potongan, warna dan pilihan kainnya yang casual.
Dari seragam itu saja saya tahu kultur apa yang hidup Wardah. Sederhana. Egaliter. Saling menghormati. (Foto-foto keluarga Wardah dan acaranya di Ancol lihat Instagram: @dahlaniskan19 siang nanti).
Saya juga tahu manajemen seperti apa yang diterapkan di Wardah. Terbuka. Tidak rumit. Karena itu saya tidak mau ceramah panjang di forum itu. Saya sudah merasa cocok dengan gaya manajemen Wardah. Saya seperti menemukan cermin besar untuk diri saya. Di situ.
Tentu banyak perusahaan asing yang mengincar Wardah. Tapi keluarga Nurhayati tidak seperti Vini di India. Uang triliunan rupiah memang banyak. Tapi Wardah masih tahan godaan seperti itu.
Dari gaya penampilan manajemennya Wardah bukan jenis yang mudah tergoda apa saja.(dahlan iskan)
==========================
Ini Ternyata Asal Mula Nama Wardah
REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- CEO Wardah, Nurhayati Subakat, membagikan ceritanya tentang asal muasal nama Wardah. Selain dikenal kehalalannya, asal mula nama Wardah ternyata dekat dengan dunia pesantren.
"Wardah itu inspirasinya awalnya kerjasama dengan Pesantren Hidayatullah," kata Nurhayati saat jadi pembicara di Penutupan Arisan Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) DIY, Sabtu (15/7).
Ia menerangkan, dari kerjasama itu Wardah mendapat tantangan untuk membuat produk-produk Islami. Karena Islami, kiblat nama yang hendak digunakan tentu berbau Arab. Dari tiga nama yang diusulkan saat itu, diterimalah nama Wardah.
Memiliki arti bunga mawar, Wardah pun berdiri dan dikenal seperti yang saat ini banyak orang ketahui. Hebatnya, nama Wardah tidak cuma besar di Indonesia tapi global, mengingat produk yang dimiliki memang besar pula di dunia internasional.
Bahkan, lanjut Nurhayati, sejak 2003 Wardah sudah memulai pengelolaan kepada generasi kedua, yang tidak lain anak-anaknya sendiri. Padahal, kala itu belum ada profesional yang mau mengelola Wardah karena belum dikenal.
"Tapi anak-anak saya tidak ragu untuk masuk, padahal anak saya yang satu Kimia dan satu lagi Elektro," ujar Nurhayati.
Tapi, semua itu berbuah ketenangan melihat saat ini anak-anak dari Nurhayati mampu mengelola atau berjalan sendiri dengan timnya. Bahkan, sudah ada 300an sarjana yang bergabung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar