Saya pernah bercerita dalam satu atau dua essay saya bahwa ketika saya kuliah di ITB saya telah mempunyai pekerjaan yang mampu menghidupi saya secara mandiri. Pun uang dari orang tua tetaplah saya terima.
Kadang-kadang orang tua itu bangga dan bahagia bila mempunyai kemampuan untuk membiayai anaknya sampai lulus.
Kadang-kadang orang tua itu bangga dan bahagia bila mempunyai kemampuan untuk membiayai anaknya sampai lulus.
Uang kiriman ortu saya cukup untuk menutup biaya hidup. Penghasilan saya kurang lebih sepuluh kali lipat jumlah tersebut. And more. Dengan capital ini saya bisa merancang kamar saya secara khusus yang secara kontras berbeda dengan rata-rata mahasiswa lainnya.
Pertama, salah satu dinding kamar saya praktis berisi buku, akumulasi dari belanja buku. Dan sebagaimana saya ceritakan sebelumnya, ketika mahasiswa yang lain harus ke lab komputer untuk memakai apa yang namanya PC saya mengoperasikannya di kamar saya sesuai dengan spirit produknya: Personal Computer. Personal, tidak dibagi.
Bila mahasiswa lain baru mempunyai radio, saya mempunyai entertainment set termasuk TV yang saya gunakan untuk belajar bahasa Inggris dalam bagian listening comprehension. Setiap teman mahasiswa atau senior yang baru pertama kali maen ke rumah biasanya agak terperangah ketika masuk ke kamar saya.
Bertahun kemudian saya paham, barangkali kamar saya setting dan suasananya mirip kamar Batman. Penuh perlengkapan high-end yang semuanya didayagunakan untuk mencapai misi tertentu. Ditambah saya sendiri sehari-hari mengendarai motor antik. Lengkaplah sudah image Batman.
Saya hampir saja meminta pembaca untuk membayangkan Val Kilmer yang ganteng dan macho, dengan semua gadget canggih dan deretan tumpukan starched white shirt yang crisp dsb. Tapi saya khawatir akan ditanya: lhaa dalam konteks ini bagaimanakah dengan figure Nicole Kidman? Wahaa. Ada jebakan disini. Jebakan Batman. Precisely.
+++
Saya berharap paragraf pembuka ini tidak diterima sebagai upaya untuk flaunting, memamerkan kekayaaan atau apa. Wong cuman kaya level mahasiswa. Walopun kalo ada beberapa teman yang senang meledek: hhhoooraaaang kayaaa…. Palingan dengan ringan saya juga sudah punya jawaban: Ape lu …ape lu…. Hahahaha.
Singkat kata, dengan mendayagunakan resource tersebut saya mengalahkan semua pesaing saya dalam memenangkan kompetisi di Schlumberger dan memperoleh seat prestigious untuk Kerja Praktek ke Belanda Utara.
Naaa disini baruuuu gambar Nicole Y Kidman muncul di layar. Middle name Yleen. Ceritanya sudah terkenal jadi tidak saya ulang disini, khawatir mbok-mbok ada sutradara yang tertarik untuk mengangkatnya ke layar lebar. Terlalu banyak komitmen kemana-mana malah bisa keteteran nanti.
Singkat cerita sepulang dari Belanda, resource saya menjadi lima kali lipat. Apa pasal? Lah di sinilah kita harus selalu percaya: rezeki engga kemana. Jadi ceritanya ketika berangkat ke Belanda itu saya dibekali uang saku mingguan oleh kantor Schlumberger Jakarta. Jumlahnya cukup besar untuk ukuran waktu itu.
Sebenarnya uang ini praktis utuh karena semua transport sudah diatur dan diarrange dan demikian pula selama di Belanda saya diberi apartment (disana mereka menyebutnya flat) dengan 4 kamar yang mewah dengan semua perlengkapan.
Perlengkapan high-end yang komplit plit. Jendela besar menghadap sungai. Fridge besar dengan semua isinya. Laundry set yang modern. Coffee table dengan majalah Playboy dalam bahasa Belanda. Waktu itu saya tidak tertarik belajar bahasa Belanda, jadi saya lihat gambarnya saja. Terpaksa. Ehm.
Saya agak disgressing di sini. Sebenarnya saya mau mengatakan bahwa ada rezeki tambahan yang sangat besar karena dari Kantor Schlumberger Assen berkat sekretarisnya di sana.
Hari pertama kerja, saya diminta ke kantornya dan disana dia melakukan hitung-hitungan uang saku mingguan selama saya KP disana. Saya masih lugu waktu itu sehingga dengan polosnya bilang: saya sudah diberi uang saku dari kantor Jakarta. Dia menukas sambil tersenyum: Sshh…please, just accept it.
Tentu saya hanya bisa mbatin: what is going on? Saya tidak ingin menambah-nambahi tapi sekretaris ini kebetulan orang Belanda yang punya sedikit darah Indonesia. Oo..di tempat yang jauh dan terpencil di ujung dunia ini, barangkali dia mempunyai rasa keserumpunan.
Saya hanya ingin mengakhiri paragraf ini bahwa nonik sekretaris sekilas wajahnya seperti yang ada di cover majalah di coffee table. Sudah. Kalo saya teruskan saya khawatir nanti pembaca tergiring imaginasi tokoh protagonist di novel-novel Haruki Murakami, yang mengatakan: In the end of the day, what is important is whether ….
+++
Fast forward, 30 tahun kemudian, saya masih membawa kebiasaan waktu menjadi Batman dulu. Tidak bisa pasif atau diam. Selalu ada saja yang saya kerjakan. Membantu company ini, company itu.
Intinya menjadi katalis antara triple-helix Academic-Business-Government. Saya senang menikmati peran sebagai enabler supaya ide menjadi bisnis dan bisnis bisa menggerakkan ekonomi dan pada gilirannya menciptakan kemakmuran.
Menceritakan kekayaan masa mahasiswa tentunya hanya untuk lucu-lucuan saja.
Bertahun-tahun kemudian saya baru menemukan bahwa kekayaan itu bukan dari yang kita punya. Rasa kaya dan berkelimpahan akan terasa justru dari apa yang kita berikan untuk sesama.
Apapun bentuknya.
https://www.facebook.com/agus.budiyono.39/posts/2125989037453985?notif_id=1542979383878941¬if_t=nf_comment_story
Tidak ada komentar:
Posting Komentar