Natin melintas di depan kantin belakang gedung perkantoran mewah. Sesaat kemudian satu persatu orang berdatangan dan bergerombol seperti biasanya. Rupanya, mereka mengimani bahwa rezeki setiap orang sudah ditentukan Allah. Tidak ada gunanya kerja lebih gigih meskipun mereka sering kekurangan. Anak dan istrinya pun tidak boleh menuntut lebih. Karena – katanya – hal itu menggambarkan pengingkaran kepada takdir Tuhan.
Ayah Natin punya beberapa teman yang kehidupannya sangat baik. Punya mobil bagus. Punya rumah indah. Tapi, sehari-harinya mereka lebih banyak terlihat ada di rumah. Tidak seperti Ayah yang setiap hari, mesti berangkat pagi sekali. Dan pulang sering larut malam. Sampai-sampai mengeluh dalam hatinya;”Takdir ini tidak adil. Orang yang kerja keras, dikasih sedikit. Sedangkan orang yang malas, diberi lebih banyak….”Tapi anehnya, Ayah juga tidak berani ambil resiko dengan berhenti bekerja dan memilih menjadi orang malas saja. Ia percaya jika tidak bekerja tidak akan mendapatkan nafkah.
Orang-orang yang bergerombol itu pun juga lebih payah lagi kehidupan ekonominya. Jangan-jangan, takdir hanya memihak kepada orang-orang tertentu saja ya? Mungkin begitu sih. Makanya ada beberapa teman Ayah yang makmur meskipun tidak jelas kerjaanya apa.
Seandainya Ayah mau diajak Natin untuk bertemu dengan gurunya. Tentu pemahaman Ayah terhadap takdir tidak akan serapuh itu. Kadang Ayah mikir, jika tidak berusaha; bagaimana mungkin bisa mendapatkan hasilnya? Tapi, ketika usahanya tidak kunjung menghasilkan apa yang diharapkan, Ayah jadi teringat bahwa rezeki setiap orang sudah dijatah oleh Tuhan. Semuanya itu menunjukkan kebingungan Ayah yang tidak ada ujungnya.
Natin pernah bertanya kepada gurunya.
“Guru, benarkah jika usaha kita tidak akan menambah rezeki yang Tuhan jamin untuk kita?” begitu dia bertanya. Yang dijawab oleh gurunya dengan kata ‘benar’.“Dan guru,” kata Natin lagi. “Benarkah meskipun tidak berusaha rezeki kita tetap dijamin oleh Tuhan?” begitu pertanyaannya kemudian.“Benar.” Gurunya memberikan jawaban yang sama.
“Tapi guru,” katanya. Sekali lagi. “Bukankah Tuhan tidak memberikan sesuatu kepada hambanya selain yang dia usahakan?” Lagi-lagi gurunya mengatakan ‘benar”. Seolah beliau tidak memiliki jawaban lain yang lebih kreatif dari sekedar kata ‘benar’. Sungguh sangat membingungkan.
Selagi bingung itu. Seseorang datang dengan nampan berisi dua cangkir kosong. Dan sebuah poci penuh berisi air perasan jeruk. Gelas dan poci itu diletakkan diatas meja. Lalu orang itu pergi tanpa berkata-kata. Sang guru menuangkan minuman menyegarkan itu kedalam cangkirnya sendiri. Lalu beliau meminumnya. Sang guru kemudian menuangkan kembali isi poci itu kedalam cangkirnya. Lalu meminumnya kembali. Sedangkan Natin hanya menonton saja. Begitu pula ketika sang guru melakukannya untuk kali yang ketiga.
“G-guru….” Kata Natin ragu. “K-Kenapa guru tega tidak memberikan minuman itu kepada saya?” protesnya. “Orang yang membawa minuman ini sudah menyediakannya untuk kita berdua,” tambahnya.
“Tapi hanya aku yang mau bersusah payah menuangkannya kedalam cangkir.” Jawab sang guru. “Lalu meminumnya.” Tambahnya. “Sedangkan orang lain, hanya menonton saja sambil berharap seseorang menuangkannya untuk dirinya….”
Kali ini Natin merasakan jika kalimat itu ditujukan kepada dirinya. Nyindir.
“Seperti itulah Allah memberikan rezekinya kepada hamba-hambanya…” begitu sang guru melanjutkan. “Dia meletakkan poci rezeki itu dihadapan semua orang.” Lanjutnya. “Tapi kenikmatannya hanya bisa dirasakan oleh mereka yang mau mengulurkan tangannya untuk menuangkan isinya kedalam gelasnya.” Tambahnya.
Sang guru kemudian menceritakan Mariam, kitab suci menyebutkan namanya. Ketika beliau tengah mengandung dengan susah payah, sendirian, lapar dan dahaga.
Lalu Jibril datang dan membisikan pesan Allah. “Dan goyangkanlah pangkal pohon kurma itu. Niscaya dia akan menggugurkan buah kurma yang matang kepadamu……” begitulah adegan yang dikisahkan dalam surah 19 (Maryam) ayat 25.
“Kenapa Jibril tidak memetikkan buah kurma itu untuk Mariam?” tanya sang guru.
Natin tidak menjawabnya. Hanya mengangguk kecil tanda paham makna pertanyaannya. Bahkan untuk seorang perempuan agung yang tengah dilanda beratnya beban melahirkan tanpa bantuan, Allah menghendaki ikhtiar. Apalagi untuk orang-orang seperti kita. Natin segera meraih poci berisi air jeruk itu. Lalu menuangkannya kedalam cangkirnya.
Sejak saat itu Natin paham, bahwa ikhtiar itu merupakan jembatan antara poci rezeki yang Allah sediakan dihadapan setiap insan, dengan tubuhnya yang siap untuk menikmati kelezatan anugerahnya. Ikhtiar. Itulah yang memisahkan keduanya. Sehingga dengan ikhtiar, rezeki itu akan sampai kepada setiap sel didalam tubuhnya.
Semoga pesan utama perintah Jibril kepada perempuan yang sedang hamil itu sampai kepada para lelaki itu agar menyadari bahwa para perempuan sudah sedemikian tangguhnya memperjuangkan hidup, sementara para lelaki sering menjadi mahluk lemah yang mudah menyerah. Seperti yang dicontohkan oleh ibu tua pemilik warung itu. Yang tetap teguh berusaha menghasilkan nafkahnya. Ditengah-tengah para lelaki yang tidak sadar bahwa permainan membuang-buang waktunya itu, akan menyebabkan rezeki yang sudah Tuhan sediakan dalam poci tidak tertuang kedalam cangkir-cangkir rezeki mereka.
Sumber : DEKA – Dadang Kadarusman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar